Lahir : 1808 di Selangor
Wafat : 1873 di Pulau Penyengat,Kepulauan Riau,
Indonesia
SK Pres :089/TK/TH 2004 bertanggal 5-11-2004
(kepulauan Riau)
|
Raja Ali Haji
(Raja
Ali Haji Bin Raja Haji Ahmad)
Lokasi Makam: Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang
Beliau
adalah seorang Sejarahwan, Pujangga, dan Penulis buku dan Beliau adalah
Pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu, kelak dalam Kongres
Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia
Karya terkenal
Puisi
Gurindam Dua Belas (1847)
Buku
Tuhfat al-Nafis (Bingkisan Berharga) (1860)
Silsilah Melayu dan Bugis (1865)
Karya lain
Bustan al-Kathibin (1857)
Kitab Pengetahuan Bahasa (Tidak selesai) (1850-an)
Intizam Waza'if al-Malik (1857)
Thamarat al-Mahammah (1857)
|
Raja Ali Haji adalah anak raja ahmad dan cucu raja haji Fisabillilah,
banhsawan dari kesultanan riau lingga. Ayahnya adalah orang terpelajar
yang juga termasuk pengarang riau lingga yang terkenal dan rajin
menuntut ilmu. Nenek moyang raja ali haji sebetulnya adalah raja bugis
yang pertama kali memeluk islam. Namanya la madusilat. Salah seorag anak
La madusilat pergi mengembara hingga ketanah riau lingga dan mendapat
kedudukan penting dalam kesltanan riau lingga.
Raja Ali Haji tumbuh dalam keluarga yang memiliki tradisi keagamaan dan
keilmuan yang kuat. Sejak kecil ayahnya telah mendidiknya dalam
mempelajari bahasa arab dan ilmu agama dengan baik bahkan ia pernah
menuntut ilmu sampai ke mesir dan mekkah. Bersama dengan ayahnya dan
sebelas kerabat lainya, ia termasuk bangsawan riau lingga yang pertama
kali mengunjungi tanah suci mekkah, yaitu pada 1828.
Sekembalinya dari menuntut ilmu dinegeri sebrang Raja Ali Haji menjadi
seorang ulama yang terkenal dinegerinya. Ia menjadi tumpuan orang-orang
yang hendak bertanya maupun belajar masalah keagamaan ataupun
masalah-masalah lainya.
Raja Ali Haji kemudian juga terkenal akan karya-karya sastranya yang
berbentuk prosa maupun puisi. Karya-karya sastranya berisi beragam tema,
diantaranya hukum, sastra, bahasa, dan (Yang Paling banyak) keagamaan
pada tahun 1847 Raja Ali Haji menulis salah satu karyanya yang berjudul
Gurindam Duabelas. Karyanya tersebut menjadi amat terkenal. Pada tahun
1858 ia juga menulis kitab pengetahuan bahasa yang kemudian menjadi
pelopor perkamusan monolingual bahsa melayu.
Selain dua judul diatas, karyanya yang lain adalah syair Abdul Muluk,
sisilah melalui didis, syair hukum nikah, syair siti sianah, tsamarat
al-muhimmah, sinar gemala mustika alam, tuhfat al nafis. Sayang, di
indonesia hanya syair Abdul Muluk dan gurindam Duabelas yang pernah
diterbitkan secara komersial. Itupun setelah ia wafat. Hanya gurindam
duabelas yang diketahuin oleh masyarakat awam di indonesia hingga saat
ini. Karya-karya raja Ali Haji lebih banyak diterbitkan secara bail dan
layak di malaysia. Gurindam duabelas juga pernah diterbitkan dinegeri
belanda pada tahun 1953. Raja Ali Haji adalah tonggak sastra melayu yang
memiliki peran penting dalam khasanah sastra indonesia.
Melihat karya-karyanya yang bisa disebut sebagai pelopor atau cikal
bakal yang melicinkan jalan terbentuknya bahasa nasional indonesia, Raja
Ali Haji termasuk putra bangsa yang pantas mendapat penghargaan tinggi.
Pantaslah pemerintah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional lewat SK
Presiden No.089/TK/Tahun 2004.
Pujangga termahsyur dari Pusat Kebudayaan Melayu Riau-Johor. Ia dianggap
pembaharu gaya penulisan Melayu pada pertengahan abad ke-19. Sejak
remaja, putra raja Bugis terkenal (Raja Haji) ini sering mengikuti
ayahnya merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) dan kemudian menunaikan
ibadah haji. Pendidikan agama diperolehnya di Pulau Penyengat dan
Mekkah. Pada masa itu, ia berhasil mengembangkan Riau menjadi Pusat
Kebudayaan Melayu yang besar. Ia juga pernah menjadi guru raja Muda Riau
dan Penasihat Kerajaan. Berbagai karyanya antara lain: Gurindam dua
belas (1846), Kitab Pengetahuan Bahasa (1854), Syair Nikah, dan Syair
Gemala Mustika.
Banyak orang yang sudah mendengar nama Ali Haji ketika masih berada
sekolah menengah. Tokoh ini ternyata tidak hanya mengarang Gurindam XII
sebagaimana banyak yang hinggap di benak orang, tetapi juga mengarang 12
buku lainnya. Di antara buku tersebut adalah Tuhfat al-Nafis (sejarah),
Bustan al-Katibin, Pengetahuan Bahasa (tata bahasa), Mukaddimah fi
Intizam (hukum dan politik), serta jumlah syair seperti Syair Siti
Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul
Muluk.
Lahir di Pulau Penyengat, 1809 (ada yang menyebut 1808), Raja Ali Haji
tumbuh dari dan dalam keluarga terpandang. Dia mewarisi darah
kebangsawanan Melayu dari kakeknya, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan
Melayu Johor-Riau-Lingga-Pahang Raja Haji Asy-Syahid Fi Sabilillah. Yang
Dipertuan Muda (Yamtuan) adalah jabatan semacam perdana menteri, yang
dalam banyak hal lebih memainkan peran tinimbang sultan Melayu. Sang
kakek mendapat gelar Asy-Syahid Fi Sabilillah, sebab dia gugur dalam
pertempuran melawan Belanda di tahun 1784, dimana dia bertindak sebagai
panglima perang.
Tetapi tampaknya Raja Ali Haji lebih mewarisi darah ayahnya sebagai
seorang ilmuwan. Ayahnya, Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabilillah, adalah
seorang ilmuwan yang menulis sedikitnya 4 judul buku (satu di antaranya
bersama Raja Ali Haji). Sebagai seorang ilmuwan, Raja Ahmad dipercaya
menjadi penasihat kerajaan, khususnya pada masa pemerintahan kakak
kandungnya, Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far bin Raja Haji Fi
Sabilillah. Adapun ibu Raja Ali Haji, ialah Hamidah binti Panglima
Malik, puteri dari Selangor.
Di tahun 1822 Raja Ali Haji mengikuti rombongan Kesultanan Riau yang
dipimpin ayahnya ke Batavia. Rombongan itu adalah utusan resmi Yang
Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far. Misinya, bertemu dengan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda G.A. Baron van der Capellan di Batavia untuk
membahas dampak suksesi Sultan Mahmud di Riau dan pengangkatan Sultan
Husin di Singapura. Inilah untuk pertama kalinya Raja Ali Haji
menginjakkan kaki di pulau Jawa. Sudah tentu pada kesempatan itu dia
bertemu dengan beberapa penguasa kolonial, di antaranya ialah Christian
van Anggelbeek, seorang penerjemah yang menguasai beberapa bahasa.
Bagi Raja Ali Haji, tentu saja banyak hal berkesan dari perjalanan
selama 3 bulan itu. Suka-dukanya. Manis-pahitnya. Di antara yang sangat
berkesan bagi anak berusia 13 tahun tersebut adalah pada ketika itu,
atas undangan pemerintah Belanda, bersama rombongan dia sempat menonton
apa yang disebutnya “wayang Holanda” atau “wayang komidi”. Ialah pentas
kesenian di sebuah gedung pertunjukan yang, tulis Raja Ali Haji dalam
Tuhfatun Nafis, “sifat rumahnya itu lekuk ke dalam tanah”. Ya, gedung
itu adalah Schouwburg, gedung kesenian di zaman kolonial yang kini
dikenal dengan Gedung Kesenian Jakarta (Yunus 2002: 68).
Di tahun 1826, Raja Ali Haji sekali lagi mengikuti perjalanan ayahnya.
Kali ini ke Semarang, Jawa Tengah sekarang, dengan misi dagang untuk
menghimpun dana perjalanan haji ke tanah suci. Dalam perjalanan ini,
Raja Ali Haji jatuh sakit, terserang “penyakit hawar, muntah berak
hampir tiada harap akan hidupnya,” tulis Raja Ali Haji. Hawar adalah
sejenis penyakit menular. Penyakit yang menyerang anak 17 tahun itu
rupanya sangat serius, sebab sang ayah sempat memesan keranda sebagai
persiapan kalau-kalau ajal datang menjemput. Sang ayah akan membawa
pulang ke Riau jenazah sang anak, jika benar ajal menjemput. Tapi di
Semarang, bau ajal rupanya hanya mendekat. Maka Raja Ali Haji bisa
mencatat dengan cukup rinci kisah perjalanannya, termasuk tempat-tempat
yang disinggahinya, seperti Jepara dan Juana.
Sebagaimana telah diniatkan, Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji itu,
berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan haji di tahun 1828. Raja Ali
Haji ikut serta dalam perjalanan ini. Setelah melaksanakan ibadah haji
inilah sesungguhnya nama Haji dilekatkan di bagian belakang nama anak
yang semula hanya bernama Raja Ali itu. Tentu saja, di sini Raja Ali
Haji tidak hanya melaksanakan ibadah haji. Pastilah dia menggunakan
kesempatan itu untuk memperdalam ilmu, khususnya ilmu agama, bahasa, dan
sastra Arab. Di abad ke-19, Makkah dan Madinah bukan saja pusat
spiritual Islam, melainkan juga pusat intelektual Islam paling penting
di dunia.